Mahameru
Cerita Tentang Pendakian Menuju Puncak Abadi Para Dewa - Mahameru
Siapa yang tidak kenal Mahameru? Gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia yang sekaligus merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa. Yang tentunya menjadikan perjalanan kali ini menjadi pengalaman yang akan selalu dikenang. I will say, It's a dream comes true. Yap.. kalau ada yang pernah baca blog gw sebelumnya, Mahameru sebenarnya adalah gunung ke-3 yang pernah gw daki. (sebelumnya Gunung Gede 2x, dan Gunung Papandayan). So it was my 4th hiking experience. Dan kalau boleh jujur, awal paling pertama gw tertarik dengan yang namanya hiking, adalah karena gunung satu ini. Semua perkakas yang gw cicil beli, semua gw dedikasikan sesuai dengan spesifikasi minimal untuk mendaki gunung ini, yang kata-katanya perjalanan ke puncaknya, jauh lebih sulit dibanding ke puncak Rinjani. Sedikit tips untuk mendaki khususnya wanita, bisa cek ke tulisan gw yang ini >> tips.
8 May 2018 pukul 15:15 WIB, perjalanan ke Malang kami mulai mulai dengan kereta ekonomi Matarmaja dari Stasiun Pasar Senen tujuan Stasiun Malang. Dengan total 16 Jam 36 Menit, kali kedua menggunakan kereta yang sama, diakhiri dengan rasa sakit pinggang dan perasaan selalu kapok. Namun, lagi dan lagi pada akhirnya tetap mencoba menggunakan kereta ini. wkwkwk.. murmernya itu lho, yang sulit ditolak, cuma Rp. 109.000,- untuk sekali jalan.😝 selagi masih muda, tak apa lha ya. hwhwhwhw..
Anyway, untuk perjalanan dengan kereta, usahakan selalu tiba di stasiun 30 menit sebelum keberangkatan. Jika tidak, silahkan siapkan mental ketinggalan kereta yang hampir selalu dapat dipastikan, akan berangkat tepat waktu. In my case, waktu itu hampir ada kejadian ketinggalan kereta karena perjalanan ke stasiun yang kala itu cukup padat. Sempat frustasi dan beberapa kali mengecek harga tiket pesawat, kalau-kalau terpaksa harus mencari opsi lain. Namun, nasib beruntung masih memihak kala itu, kami masih dapat sampai tepat waktu. 😂
9 Mei 2018 tepat pukul 07:51 WIB, kami tiba di kota Malang, berberes turun dari kereta dan sarapan di warung terdekat sambil menunggu jemputan jeep yang akan mengantar kami ke basecamp Pasar Tumpang sebelum menuju Ranu Pani, desa terakhir sebelum pendakian ke Mahameru. Sekedar saran, sebaiknya langsung searching dan deal untuk transport PP ke Ranu Pani sebelum berangkat. Karena harga on the spot, sering tidak menentu. Gw dan rombongan total ber-11, dikenakan biaya 140 ribu per orang untuk transport pulang-pergi dari Malang-Ranu Pani-Malang (termasuk murah, karena jumlah kami lebih dari 10 orang) . Untuk transport dari Stasiun ke Pasar Tumpang, kami dijemput dengan mobil angkot, karena kala itu ada larangan mobil jeep parkir di area dekat stasiun sejak awal tahun 2018.
Perjalanan dari Stasiun Malang ke Pasar Tumpang hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Itu pun sudah termasuk mampir untuk membeli nasi padang (nasi+rendang dipisah) demi kebutuhan logistik selama pendakian. Transport yang kami sewa, termasuk oke, karena turut menyediakan homestay/basecamp gratis di daerah Pasar Tumpang. Lumayan lha, untuk sekedar mandi dan menitipkan beberapa bawaan yang tidak diperlukan selama pendakian. Tidak lupa, gw menyempatkan diri untuk sikat gigi, keramas dan cuci muka terlebih dahulu. Secara, ini adalah kesempatan sikat gigi dan keramas terakhir untuk 4 hari ke depan. >_<" Bukan bermaksud jorok, tapi karena memang aturan di gunung, tidak diperkenankan menggunakan satu pun bahan kimia, termasuk pasta gigi. Hal ini ditujukan untuk menjaga keasrian dan kemurnian mata air di gunung. Yang melanggar, ada saja si. Namun hati kecil gw selalu berkata, "No, don't do that. Jadilah pendaki yang datang untuk menikmati tanpa merusak atau mencemari alam itu sendiri. 😊"
Setelah berbenah sejenak di basecamp, sekitar pukul 9:30 pagi, kami segera melanjutkan perjalanan kami ke Ranu Pani dengan mobil jeep.
Selama perjalanan menuju Ranu Pani, pantang untuk tidur ya guys. Karena sepanjang perjalanan, view yang disuguhkan itu indah banget. Sangking indahnya, akhirnya kami menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di spot ini.
God is The Almighty God
Setelah sekitar 2 jam perjalanan dari Pasar Tumpang, akhirnya kami sampai di desa Ranu Pani. Oyah untuk pendakian ke Mahameru, wajib untuk daftar secara online terlebih dahulu. Kuota jumlah pendaki pun dibatasi, maksimal 600 orang per hari. Untuk link dan syarat pendaftaran bisa dicek di link berikut ini https://bookingsemeru.bromotenggersemeru.org/.
Jangan lupa fotocopy semua identitas diri dan dokumen yang dibutuhkan ya. Saat kami tiba di tempat ini, desa Ranu Pani sedang mati listrik, dan karena identitas diri kami belum sempat di-fotocopy, kami sama sekali tidak diizinkan untuk memulai pendakian. Tanpa ada kepastian kapan listrik akan menyala, hal ini benar-benar sangat mengacaukan itinerary jadwal pendakian kami, yang awalnya jam 13:00 paling telat sudah harus mulai nanjak. Mencoba nego dengan meninggalkan KTP asli pun, kami tidak digubris oleh petugas pos pendakian. >_<"
Alhasil kami cuma bisa pasrah, beruntungnya, sekitar pukul 14:00 WIB, listrik sudah menyala kembali. Usai ko Erik (ketua kelompok pendakian kami) mengurus semua kelengkapan dokumen, kami masih harus mengikuti briefing sebelum melakukan pendakian. Dalam waktu sekitar 20 menit, semua aturan, larangan dan himbauan disampaikan dan dijabarkan dengan sangat lengkap berikut dengan situasi kawasan Mahameru yang kala itu sedang sangat dingin dan ditemukannya beberapa pasir yang membeku di Puncak Mahameru. Jujur, setelah briefing, gw pribadi jadi cukup takut, dan mencoba memastikan kembali semua perlengkapan pendakian kali ini tidak ada yang tertinggal.
Ranu Pani - Ranu Kumbolo (Sekitar 10,5 KM dengan waktu tempuh sekitar 5-6 Jam). Dimulai dengan doa dalam keyakinan masing-masing, kami pun memulai pendakian kami pada pukul 15:00 WIB. Di awal pendakian, gw sempat tergopoh-gopoh mengatur nafas, sambil berucap ke rombongan, "Ini serius ne, katanya jalur pendakian ke Mahameru termasuk landai. Jalur ke puncaknya aja yang setengah mati. Ini kenapa awal-awal uda terjal aja ya.. 😅" Begitulah kisah awal pendakian gw. wkwkwk.... Hampir merasa tertipu oleh cerita-cerita di blog lain, eh ternyata setelah trek nanjak sekitar 15 menit, jalur yang kami lalui akhirnya sudah cukup landai. Namun itu bukan alasan untuk bersantai, karena Ko Erik menargetkan, apapun yang terjadi, hari ini harus sampai di Ranu Kumbolo, untuk camping.
Tidak ada foto-foto cantik, selama perjalanan, yang ada di otak, "Ayo El, Jalan!!!! Cepat lha, ini matahari sudah mulai turun." Bersiap untuk perjalanan malam, headlamp sudah terpasang di kepala, otak masih berusaha untuk memberikan semangat untuk seluruh anggota tubuh. Namun badan rasanya sudah sangat letih. Dan akhirnya sekitar jam 6an sore, kala sinar matahari sudah tidak lagi terlihat, Ko Erik memutuskan untuk kami berhenti, istirahat dan makan malam.. Alhamdulilah banget, nasi dan rendang yang dibeli saat perjalanan menuju Pasar Tumpang, walau bentuknya sama sekali tidak terlihat karena gelapnya malam, tapi rasanya nikmat banget. Serius de, apa pun akan jadi enak banget kalau sudah di atas gunung. wkwkwk.
Usai makan malam, gw yang awalnya selalu berada hampir di urutan paling belakang, hingga kerap kali harus ditungguin, begitu selesai makan, ibarat baterai aki soak yang sudah ter-charge full.. Ngebut jalan cepat menembus gelapnya malam.. Nasi+rendangnya benar-benar berfaedah ya. 😝
Hanya sempat berhenti sejenak di sebuah tempat perhentian sederhana di suatu lereng, sambil menunggu rombongan lengkap. Guess what? begitu kami melihat ke atas, jutaan bintang dan milky-way terhampar begitu jelas dari ujung ke ujung. Jujur aja, walau sudah beberapa kali melihat milky-way, gw pribadi selalu amazed dengan keindahan yang ditawarkan. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, indah sepertinya apa. "No photo, HOAX", Sorry i don't care..let it be our own previledge, lagi pula rasa dan kesan yang muncul akan selalu beda antara melihatnya dengan mata kepala sendiri dan melihatnya lewat foto. Sebenarnya agak sedikit menyesal si, tidak mengabadikannya dalam bentuk foto tapi karena judulnya ini hanya rehat sebentar plus mager (read: malas gerak) untuk mengeluarkan tripod dan setting-setting kamera lagi kala itu. wkwkwk..😝 Makanya nanjak yuk? wkwkwk.. eit-eit, tenang aja, milky-way tidak hanya hadir di gunung kok, asal kita ada di "remote-area" yang jauh dari polusi cahaya, milky-way selalu ada terhampar di atas langit, dimana pun kita berada, selama tidak mendung dan tidak sedang bulan purnama. 😉
Setelah sekitar 10 menit kita beristirahat disini, tubuh langsung terasa dingin, padahal sudah memakai jaket wind-breaker. Ya namanya juga di lereng terbuka, tidak ada tempat berlindung dari hembusan angin malam. Untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat, memang tidak dianjurkan untuk istirahat terlalu lama. Berbekal perkataan salah seorang teman yang berucap, "Hayo-hayo sudah gak jauh lagi, harusnya di depan sudah Ranu Kumbolo..". Kami langsung bergegas melanjutkan perjalanan. Jika sebelumnya trek yang kami lalui landai menanjak, kali ini kami mulai menemukan jalan menurun, tanda kalau benar, Ranu Kumbolo sudah tidak jauh lagi. Tidak sampai 15 menit kami melangkah, kami bertemu dengan sebuah turunan yang sangat curam, berbekal head-lamp yang mantap terpasang di kepala, dengan jarak pandang seadanya, perlahan tapi pasti kami mencoba menuruni trek ini. Sambil berujar satu sama lain, "beneran gak si lewat sini, kalau bener ini, apa kabar pas balik 😅😅😅." (read: turunan tajam = tanjakan tajam).
Usai ngesot-ngesot sedikit, kami sampai di suatu tempat yang cukup luas dan landai, entah dimana. Agaknya kala itu sudah pukul 9 malam. Kabut yang tebal cukup membatasi jarak pandang kami. Ko Erik sendiri, cukup yakin kami sudah cukup dekat dengan Ranu Kumbolo, namun area tempat kami berada bukanlah camp-ground Ranu Kumbolo yang seharusnya. Jadilah kami serombongan, disuruh untuk menunggu sebentar, dan beberapa rekan serombongan tentunya lelaki yang masih punya tenaga extra, mencoba untuk berpencar mencari trek mana yang harus kami ambil. Namun sekembalinya mereka, karena pertimbangan kabut yang cukup tebal dan malam yang semakin larut, serta atas keputusan para sepuh gunung (Ko Erik, Ko Leo dan kawan-kawan), Daripada nyasar tambah jauh.. baiknya nge-camp disini aja. Tenda lantas langsung didirikan malam itu. Total tenda yang dibawa ada tiga, namun hanya dua tenda yang didirikan. Satu tenda besar untuk enam lelaki dan satu tenda kapasitas empat orang untuk lima wanita.. 😂 Jangan tanya tidurnya seperti apa, intinya malam yang sangat dingin dapat berubah jadi hangat dan sangat pulas. Untuk gw pribadi, malam itu dapat didaulat sebagai tidur paling pulas di gunung sejauh ini. 😝😝
Pagi pun tiba, mencoba keluar dari tenda, sontak gw tersadar, ternyata tepat di depan tenda kami adalah Danau Ranu Kumbolo, yang legendaris itu..😂 Namun memang, bukan sisi utama yang ramai digunakan untuk camping.
Dan baru ngeh (read: sadar), ini dia, si turunan curam yang kami turuni semalam. Eh buset, baru sadar curam banget ya. wkwkwkwk...
Foto sunrise pagi itu, dan tentunya bukan hasil karya gw.. secara masih tidur. Cantik yaaa.. Hasil karya Ko Leo yang hanya bermodalkan handphone saja.. beda memang handphone ya.. wkwkwkwk..
Usai masak dan sarapan, sekitar pukul 8 pagi, kami segera berbenah untuk meneruskan perjalanan. Dan benar saja, tidak sampai 10 menit kami tiba di area utama camping-ground Ranu Kumbolo.
Di area camp ini, terdapat setidaknya 3 kamar mandi lengkap dengan fasilitas air bersih. Fasilitas ini termasuk baru untuk Gunung Mahameru karena sebelumnya cuma ada toilet kering yang "aromanya melegenda" wkwkwk.. Kabar gembira, jadi jika ada yang terpaksa butuh untuk buang air besar, tidak perlu lagi mencari semak-semak yang dapat digali dan kubur setelahnya..😷 Ini adalah hal yang paling jadi dilema sewaktu nanjak, sebisa mungkin ditahan. Dan beruntungnya sejauh ini selalu berhasil. *harus ya bahas ini. wkwkwk Sorry. tapi serius ini penting lho.. ya kan?? 😂
Hanya berhenti sejenak untuk keperluan foto dan kamar mandi bagi yang "memerlukan", kami pun melanjutkan perjalanan. Yes.. ini dia si Tanjakan Cinta dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Konon katanya, bagi mereka yang berhasil terus melangkah naik tanpa menoleh sedikit pun ke belakang sambil memikirkan orang yang dikasihinya, niscaya akan berjodoh dan cintanya akan abadi. Namun bagi mereka yang gagal, alias menoleh ke belakang, hubungan percintaannya konon akan putus. Perasaan gw gak noleh ke belakang.. #eh.... wkwkwk.. Ini hanya mitos yang beredar ya guys, tidak perlu dianggap serius, gw pribadi termasuk orang yang tidak percaya dengan perkataan, "jodoh itu di tangannya Tuhan". Karena gw lebih percaya, jodoh itu keputusan kita sendiri dalam memilih pasangan hidup kita kelak. Dimana Tuhan menyediakan yang terbaik namun Dia tetap memberikan kebebasan kepada setiap kita untuk memilih pasangan hidup kita sendiri. Jadi untuk gw pribadi, tidak ada alasan untuk menyalahkan Tuhan, "kok jodoh gw begini si, kok begitu si..". Toh yang berucap "Yes, I do" di altar kan diri kita sendiri. Ya tanggung-jawab sendiri lha atas pilihannya sendiri. #eh kok jadi bahas ini. 😂😂 maafkan.. balik-balik.. kembali ke laptooop..
Butuh waktu sekitar 10 menit yang cukup melelahkan untuk sampai ke atas.
Tepat di depan mata setelah itu, kita akan disuguhi cantiknya Ora-Ora Ombo dari ketinggian. Padang sabana dengan bunga berwarna keunguan dengan luas sekitar 100 hektar di ketinggian 2460 MDPL (Meter Di atas Permukaan Laut). Karena warna ungunya, kerap kali para pendaki mengira bunga di padang ini adalah bunga lavender. Serupa tapi tak sama, vegetasi di tempat ini bukanlah bunga lavender, melainkan bunga Verbena Brasiliensis Vel. Inilah sisi positifnya ikut briefing, jadi tahu. Kalau tidak, gw pribadi juga akan manggut-mangut dan mengira bunga disini adalah bunga lavender.
Tepat di depan mata setelah itu, kita akan disuguhi cantiknya Ora-Ora Ombo dari ketinggian. Padang sabana dengan bunga berwarna keunguan dengan luas sekitar 100 hektar di ketinggian 2460 MDPL (Meter Di atas Permukaan Laut). Karena warna ungunya, kerap kali para pendaki mengira bunga di padang ini adalah bunga lavender. Serupa tapi tak sama, vegetasi di tempat ini bukanlah bunga lavender, melainkan bunga Verbena Brasiliensis Vel. Inilah sisi positifnya ikut briefing, jadi tahu. Kalau tidak, gw pribadi juga akan manggut-mangut dan mengira bunga disini adalah bunga lavender.
Cantik euy. Oyah sebagai catatan, pada saat briefing, kami diberi tahu, khusus untuk bunga Verbena ini, dapat kami petik dan bawa pulang (khusus untuk bunga ini saja ya yang diizinkan, yang lain jangan coba-coba). Tidak seperti Bunga Edelweis yang terancam punah dan dilindungi, bunga Verbena bersifat invasif. Dibalik keindahannya, bunga ini (Verbena) merupakan ancaman ekologis bagi tanaman sekitarnya. karena menyerap air yang sangat banyak dan dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem di Ora-Ora Ombo. Saat ini saja, paling tidak 20% dari padang sabana Ora-Ora Ombo dipenuhi oleh habitat bunga Verbena. Jadi untuk mencegah bunga ini menguasai habitat dan menggeser tanaman asli di padang sabana, kita para pendaki diizinkan dan SAH untuk memetik bunga ini. Dengan catatan tidak tercecer di kawasan lain di area TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Jangan sampai, niat awal membantu mengurangi, malah memperluas area "kekuasaan" tanaman ini. wkwkwk. 😌
Sangking luasnya, untuk menelusuri padang sabana di Ora-Ora Ombo butuh waktu sekitar 40 menit, jadi lha setelah selesai menelusuri padang, dimana jam sudah menunjukkan sekitar pukul 11.00 pagi, kami rehat sejenak, untuk makan siang seala-kadarnya. Yuhu.. semua persediaan cemilan dan biskuit dikeluarkan untuk makan siang hari ini. Dari beng-beng, richesee, tango, roma, pokoknya semua biskuit. Kalau ada yang nanya, "Mank ga lapar El?" hmm...entah kenapa yang di otak cuma ada kata yang penting perut terisi dan asupan gulanya cukup.. jadi punya "bahan bakar" untuk dapat terus melangkah. wkwkwk. and surprisingly tidak ada insiden perut krucuk-krucuk (read: lapar) kok. 😃
Setelah usai puas "makan" dan leyeh-leyeh, sekitar pukul 12.30 siang kami melanjutkan perjalanan ke Kalimati (Camping Ground). Akan ada 2 pos yang kita temui sebelum sampai, yakni Cemoro Kandang (2500 MDPL) dan Jambangan (2600 MDPL). Dari perbatasan Ora-Ora Ombo (tempat kami makan siang) ke Jambangan, hanya memakan waktu sekitar 1 jam. Trek yang ditawarkan cukup santai, dan karena ada seseorang yang membuat gw un-mood, jadi gw jalan hampir gak pake rem, lengkap dengan semua perkakas. wkwkwk.. Sepertinya hampir semua anggota rombongan ngeh (read: sadar), karena Eliz yang biasanya jalannya lelet dan sering paling belakang, kok jadi tiba-tiba jadi jalan sangat cepat. wkwkwk... Un-mood gw berfaedah juga ya.. Just kidding.. kebiasaan jelek ini namanya.. 😂😂
1 jam tanpa bersuara, diakhiri dengan semangka yang manis.
Here is, semangka kuning yang sangat segar dan manis, dengan view puncak mahameru dari kejauhan. Yeay. Ini cemilan wajib yang selama di Mahameru. Di setiap pos, ada yang jualan kok. Semangka ini hanya 2ribu per slice. Dan bagi yang kehabisan persediaan air minum botol, Tidak perlu khawatir, di tiap pos pemberhentian, biasanya menjual aqua botol ukuran besar yang dibandrol di harga sekitar 15-20ribu, ya dapat dimaklumi, air itu selalu barang yang paling krusial dan cukup berat untuk dibawa selama pendakian. Jadi manajemen air itu penting. wkwkwk.
Usai puas dengan 2 potong semangka, perjalanan pun dilanjutkan. Dari Jambangan ke Kalimati ternyata hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit. Yup, tidak memakan waktu lama ternyata. Sekitar pukul 2.30 siang, kami sudah tiba di area camping ground Kalimati (2700 MDPL).
Dari Kalimati, terpampang jelas Puncak Mahameru yang persis berbentuk kerucut. Jujur, cukup membuat gw takjub, takut dan mempertanyakan diri sendiri, sanggup gak ya, hmmm.
Dapat dikatakan tempat ini adalah camping-ground terakhir sebelum perjalanan menuju puncak Mahameru. Berkaca dari malam sebelumnya, hari ini, semua tenda didirikan. Dimana tenda yang besar diperuntukkan untuk para wanita, dan dua tenda yang kecil diperuntukkan untuk para lelaki (satu tenda isi tiga orang). Menjelang malam, makanan pun disiapkan sedemikian rupa dengan kuantitas yang cukup banyak. Menimbang perjalanan yang menanti di depan akan sangat amat menguras tenaga dan mental.
Beberapa kali gw coba mengabadikan milky-way untuk malam ini, tapi apa daya, malam belum cukup larut. Jadi fotonya kurang maksimal. pake acara miring pula. -_-"
Dan sesuai wejangan Ko Erik, "Malam ini harus tidur cepat, karena sekitar jam 12 malam, perjalanan ke puncak akan dilakukan." Usai makan dan mencuci perkakas makan dengan tissue dan air seadanya, kami pun bergegas istirahat di tenda masing-masing, sambil memaksakan diri untuk tidur. Namun karena faktor tenda yang cukup besar (kapasitas enam orang) dan hanya diisi lima orang wanita yang kecil dan imut..(dilarang protes...wkwkwk..), malam ini terasa sangat dingin, tidur pun rasanya hanya tidur ayam (antara tidur, gak tidur). Rasanya baru lelap sebentar, eh alarm sudah berbunyi. Okay, time to wake-up and prepare.
Mulai dari ganti baju tempur, head-lamp, kupluk, kacamata anti debu, buff/masker, jaket, trekking pole, gaiter., hingga day-pack yang dikhususkan untuk kebutuhan selama perjalanan ke puncak (air minum, coklat, permen, madu, biskuit, hingga kamera). Sedangkan untuk carrier dan tenda kami tinggal. Tidak lupa, sedikit pemanasan dan perenggangan otot, untuk mencegah otot keram. Dimulai dengan doa dalam keyakinan masing-masing, pembagian tim dilakukan (dua hingga tiga orang per tim). Sedikit meleset dari rencana awal, jam 1 pagi perjalanan baru dapat kami lakukan.
Perjalanan menuju puncak pun dimulai. Tantangan pertama yang kami hadapi adalah perjalanan menujuArcopodo. Hiking yang sebenarnya baru dimulai dari Kalimati menuju puncak. Trek menuju Arcopodo dapat dikatakan cukup menguras tenaga. Mungkin sebanding dengan trek ke puncak Gunung Gede via Cibodas, dimana kami harus menapaki anak-anak, ibu hingga nenek tangga sejauh 1,2 KM selama 2,5 jam. Urusan naik-naik anak tangga seperti ini, tidak perlu dikata, stamina mulai terkuras. Beruntung gw hanya perlu membawa diri. Barang bawaan seperti daily pack dibantu oleh Denny.
Dahulu di pos Arcopodo, beberapa tenda dapat didirikan, tapi karena ada longsor, di pos ini tidak lagi dapat dijadikan area camping. Walau jika dipaksa, mungkin satu sampai dua tenda masih dapat didirikan. Namun sangat tidak dianjurkan, karena akan sangat mengganggu jalur pendakian pendaki yang lewat. Oleh karena itu area camp terakhir adalah di pos Kalimati.
Dahulu di pos Arcopodo, beberapa tenda dapat didirikan, tapi karena ada longsor, di pos ini tidak lagi dapat dijadikan area camping. Walau jika dipaksa, mungkin satu sampai dua tenda masih dapat didirikan. Namun sangat tidak dianjurkan, karena akan sangat mengganggu jalur pendakian pendaki yang lewat. Oleh karena itu area camp terakhir adalah di pos Kalimati.
Dari Arcopodo menuju puncak akan ditandai dengan tanah yang sudah semakin berpasir, dan pepohonan yang sudah semakin rendah. Dimana trek yang dilalui sudah lurus tanpa kelok menuju puncak. Ingat bentuk segitiga kerucut Puncak Mahameru dari area Kalimati, begitulah trek kami menuju ke puncak, tanpa kelok dan ampun. Tentunya antrian yang sudah mulai terasa. Di sinilah sensasi Puncak Mahameru yang sebenarnya dimulai. Dimana tiga langkah naik sama dengan dua langkah turun. Dan setiap langkah akan terasa semakin berat, karena full pasir. Bagi yang tidak memakai gaiter, harap bersiap karena sepatunya akan penuh dengan pasir. Kemiringan lereng pun mencapai hampir 70 derajat. Gw yang biasanya tiap kali trekking menuju puncak, selalu buka resleting jaket karena berkeringat, kali ini dengan letih yang jauh lebih letih dari yang sebelumnya-sebelumnya, sama sekali tidak mampu berkeringat. Malah sebaliknya, kupluk makin ditarik untuk menutupi telinga, jaket tarik sampai menutupi leher dan ditambah syal, lengkap dengan sarung tangan. Full cover, tapi dinginnya tetap terasa. Hal ini dikarenakan, sama sekali tidak ada pohon yang melindungi diri dari hembusan angin malam di kiri ataupun kanan. Dalam gelapnya malam, hanya ada nafas yang terengah-engah. Setiap langkah rasanya penuh dengan jerih payah, struktur tanah yang sangat labil, juga membuat kita harus 100% sadar, dan berusaha untuk tidak menginjak batu apapun, kenapa? karena batu-batu yang kita injak, kemungkinan besar akan menggelinding ke bawah dan membahayakan pendaki yang lain. Beberapa kali terdengar teriakan sambung-menyambung, “awas batu, ada batu, awas”.
Komentar
Posting Komentar